Rekontruksi Ekonomi Arab Islam

Ekonomi adalah faktor terpenting dalam kemajuan sebuah peradaban, negara maju adalah negara yang perekonomiannya maju, sama halnya dengan negara berkembang, dan negara terbelakang berarti negara yang berkembang atau terbelakang perekonomiannya. Bangsa yang terdahulu maju ekonominya maka secara alamiah ilmu pengatahuan dan teknologinyapun maju, sejarah telah membuktikan ini ketika bangsa Arab Islam mampu menjadi kiblat ilmu pengetahuan setelah berhasil melakukan ekspansi-ekspansi terhadap bangsa-bangsa kaya seperti Bizantium dan Parsi, berikut menguasai daerah yang sumberdaya alamnya mendukung seperti Mesir, Yaman, dan Irak. Penerjemahan besar-besaran di jaman al-Mamun tak bisa dilakukan tampa sokongan dana yang kuat untuk membiayai operasional penerjemahan. Eropapun maju dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi beranjak dari pesatnya industri.
 

Bangsa Arab yang mayoritas beragama Islam termasuk dalam negara terbelakang atau dikenal dengan negara ketiga, sejarah keemasan bangsa Arab berhenti di saat bangsa barat merintis kemajuannya, kesadaran akan keterbelakannya muncul ketika Napoleon Bonaparte menginjakkan kakinya di Iskandariyah, dan ketika dinasti Utsmaniah Turki beberapa kali mengalami kekalahan perang dengan Barat karena keterbelakangan teknologi. Termotivasi hal inilah maka lahir para pembaharu-pembaharu Islam berupaya keras menawarkan berbagai solusi dengan konsep dan metodologinya masing-masing, mainstream-mainstream baru muncul bak jamur tumbuh di musim hujan, katakan saja seperti sekularisme, liberalisme, pluralisme, feminisme. Berbagai disiplin ilmu Islam dikaji ulang yang kemudian direkontruksi, bagaimana caranya supaya disiplin ilmu Islam ini menjadi progressif menyesuaikan jaman supaya bisa bersaing dalam kapal globalisasi. Apapun metodologi dan konsep yang di tawarkan para intelektual Arab, semuanya berpijak dalam semangat progesifitas bangsanya mengejar ketertinggalan ekonomi, ilmu pengetahuan dan tekhnonolgi.
 

Bangsa Arab kini menempati dek terbawah dalam kapal yang sama yaitu globalisasi sementara bangsa barat menikmati pelayanan-pelayanan elit dalam dek yang paling atas, sampel sederhana ini memberikan stimulan kepada kita bagaimana caranya supaya bangsa Arab Islam dapat sama-sama menikmati kemajuan bukan hanya sebagai konsumen tetapi juga sebagai produsen. Tema diatas bukan rekontruksi ekonomi Islam melainkan rekontruksi ekonomi Arab Islam mengingat rapuhnya kontruksi disiplin ekonomi Islam, disiplin ilmu yang satu ini sama halnya dengan disiplin ilmu sosiologi Islam dan disiplin ilmu fsikologi Islam, ilmu ekonomi Islam adalah ilmu ekonomi positif barat yang di Islamisasi sebagai bentuk permusuhan Arab yang mengakar semenjak andalus di bumihanguskan bangsa Barat.

Sejarah Kontruksi Ekonomi Arab Islam
 

Pada jaman pra Islam, Makah adalah pusat perdagangan bangsa Arab selain Yaman dan Syam, geografisnya yang tandus membuat bangsa Arab memilih untuk berdagang untuk memenuhi kebutuhan ekonominya, hanya daerah Yaman lah yang sumber daya alamnya subur, setelah Islam datang, agama ini tidak memberikan kontruksi ekonomi yang baru, Abu bakar tetap berdagang sebagaimana jaman pra Islam, begitu juga Utsman, dan lain-lainnya. Islam hanya merekontruksi theology, bukan ekonomi, Islam hanya memperbaiki praktis-praktis ekonomi berdasarkan keadilan, pemerataan dan cenderung sosialis, bukan meningkatkan tarap hidup, atau peningkatan pendapatan bangsa, karena permasalahan demikian Allah menyerahkan sepenuhnya kepada manusia, sebagaimana Nabi bersabda “Antum a’lam bi Umur al dunyakum”.
 

Dalam sejarah kontruksi ekonomi Arab Islam, nabi sendiri adalah sosok konstruktor pertama, ketika ajaran-ajarannya diterima oleh kalangan proletar yang tidak punya hegemonik ekonomi di tanah Arab ketika itu, sementara kalangan borjuis menolak dengan lantang karena ajaran nabi akan merusak tatanan ekonomi mereka yang sudah mereka bangun, ini dikarenakan Makah adalah pusat pedagangan berbagai kabilah yang datang dari berbagai penjuru, dan patung-patung sesembahan mereka berjajar di Ka’bah, di sanalah ekonomi politik mereka bermain dengan menolak untuk berpaling akidah dikhawatirkan para kabilah dagang akan berpaling dari makah dan mencari pasar lain karena patung-patung mereka tiada.
 

Hijrah nabi ke Madinah merupakan putusan nabi yang strategis mengingat jalur perdaganagan Makah-Syiria melalui jalur Badar yang ada di Madinah, kaum borjuis Makah terus mengalami krisis ekonomi setelah jalur perdagannya dikuasai kaum muslimin di Madinah, Makah tak bisa bangun dari krisinya sampai Nabi dapat merebutnya di tahun 8 H.
 

Setibanya Nabi di Madinah beliau segera membangun kontruksi ekonomi, langkah preventif nabi untuk mencegah kesenjangan sosial antara kaum muhajirin dan kaum anshor adalah dengan cara pengikatan persoudaraan diantara mereka, para muhajirin yang tidak mempunyai harta dianjurkan oleh Nabi untuk melakukan kerjasama produksi dengan cara bagi hasil di lahan-lahan pertanian kaum anshor, sementara permusuhan antara kaum “Us dan Hajraz segera dileraikan mengingat akan mengganggu tatanan ekonomi Madinah yang sedang dibangun, dibidang income distribution nabi mewajibkan pembayaran zakat, menganjurkan sodaqoh, sedangkan untuk meningkatkan income negara nabi memberlakukan ‘usyur, fei’, jizyah, dan ghonimah, dan untuk balancing perdagangan nabi mengharamkan riba.
 

Usai sudah tatanan ekonomi Madinah yang dibangun oleh Nabi memudahkan generasi berikutnya untuk meneruskan kontruksi ekonomi yang ada, pada jaman Abu bakar dan Umar bin Khotob ekspansi-ekspansi kaum muslimin segera digencarkan ke Mesir, Palestina, Romawi, Syiria, Irak, dsb, banyaknya harta ghonimah yang diperoleh kaum muslimin, dan didapatnya lahan-lahan pertanian yang subur sangat berpengaruh besar terhadap kontruksi ekonomi Arab Islam masa itu dan masa-masa setelahnya, mengingat perkembangan penduduk Arab Islam yang begitu pesat menambah neraca konsumsi sementara produksi tidak bertambah sementara lahan pertanian di Makah dan Madinah terbatas Pada jaman Utsman bin Affan kaum proletar Mesir, Yaman, Irak, dam Syiria melakukan konvoi dan berdemontrasi di Madinah menentang kebijakan-kebijakan kholifah sampai akhirnya Ustman terbunuh. Dalam perjalanan kekuasaan Arab Islam yang mengalami jatuh bangun itu tak terlepas dari kemasan ekonomi pemerintah, pada masa-masa awal perjalanannya pemerintah tidak begitu menguras tenaga untuk meningkatkan tarap hidup rakyatnya karena banyaknya ekspansi jelas menambah pemasukan negara dan rakyatnya seperti jizyah yang diberlakukan untuk kaum non muslim, ‘usyur pajak perdagangan dalam negeri yang makin meluas dan tidak ketinggalan membludaknya para budak dapat diperjualbelikan oleh orang Arab hingga di Madinah ada pusat perdagangan budak.
 

Pada jaman dinasti Umawiyah kholifah mengeluarkan kebijakan baru untuk para muslimin Iran yaitu mengharuskan mereka membayar jizyah dengan alasan masuk Islamnya mereka bukan dari hati yang tulus melainkan menghindar dari jizyah, sebuah kebijakan yang sangat fatal menjadi negasinya sendiri, bangsa parsi iran tersebut diselimuti dendam yang berkepanjangan hingga Dinasti Umayah tumbang oleh dinasti Abasyiah dibantu oleh bangsa Parsi tersebut, jadi tidak heran kalau kemudian bangsa Parsi ini mendominasi dalam serat-serat dinasti Abasyiah terutama dimasa-masa awal.
 

Paradigma ekonomi itu relatif, setiap bangsa dengan kondisi geografisnya yang variatif, tentunya solusi pemecahannyapun variatif, kerja keras Nabi dalam menegakkan keadilan sosial, dan perbaikan ekonomi itu adalah kebijakan Nabi sebagai sosok manusia biasa, sebagai orang Arab, yang hidup dilahan-lahan tandus. Islam kini dipeluk bukan hanya oleh orang Arab saja, tapi oleh bangsa lain yang mempunyai letak geografis yang berbeda, keutamaan-keutamaan dagang dalam sunah-sunah nabi adalah hal yang wajar karena bidang inilah yang paling mungkin di tanah Arab yang tandus, generalisasi sistem ekonomi dengan embel-embel Islam adalah sia-sia karena ekonomi berkorelasi dengan alam, sedangkan alam itu bervariatif.

Problematika Kontruksi ekonomi Arab kontemporer
 

Kerajaan bangsa Arab Islam dengan kontruksi ekonominya dalam catatan sejarah bisa bertahan selama kurang lebih 17 abad sampai runtuhnya dinasti Utsmaniah di Istanbul Turki, buku-buku sejarah ekonomi di tulis berbagai-jilid-dilid, baik oleh orang Arabnya sendiri maupun oleh para orientalis Barat, yang menceritakan tentang ekspansi Arab Islam, harta kekayaan negara, produktifitas perdagangan sampai komoditi yang diperdagangkan berikut mekanismenya, tetapi sayang tak ada satu bukupun yang mencerikan tentang kegiatan produksi itu sendiri, sesuatu yang sangat berinflikasi besar dalam perkembangan produksi di tanah bangsa Arab Islam masa kini, mengingat barat bisa maju dalam produksi karena mereka belajar dari catatan-catatan sejarah aktifitas produksi nenek moyangnya.
 

Arab masa kini bukanlah Arab masa lalu, kini bangsa Arab terpecah-pecah menjadi beberapa negara setelah beberapa gerakan nasionalisme terjadi di awal abad 20 masehi, negara-negara Arab adalah dunia ketiga setelah negara-negara maju dan negara-negara berkembang, rendahnya produksi negara-negara Arab menjadi sebuah problem besar disamping problematika lainnya, kemiskinan meraja lela hingga mencapai 16-54%. Perkembangan ekonomi di negara Arab di kenal lamban, para ekonom berusaha menganalisis sebab-sebab keterbelakangan ekonomi ini ternyata faktor yang paling besar dalam perkembangan ekonomi ini adalah melemahnya bangsa Arab dibidang produksi selain memang banyak faktor lain seperti seringnya terjadi peperangan baik perang saudara dalam negaranya sendiri ataupun perang regional, tercatat perang teluk Irak vs Iran pada tahun 1980-1988 M, perang soudara Libanon pada tahun 1975-1990 M, perang teluk II tahun 1991, perang Irak vs Kuwait pada tahun 1990 M, boikot ekonomi Amerika terhadap Irak pada tahun 1990 M, boikot ekonomi Amerika terhadap Libya pada tahun sembilan puluhan, selain itu minimnya pemberdayaan wanita dalam lapangan-lapangan ekonomi, tercatat hanya 20% dari wanita-wanita Arab yang ikut berpartisifasi dalam lapangan ekonomi, itu jauh lebih rendah di banding negara-negara maju yang mencapai 40%, dan negara-negara berkembang mencapai 36%. Disamping itu besarnya jumlah pengangguran di negara-negara Arab mencapai 13-48%,
 

Faktor produksi yang menjadi faktor terpenting dalam peningkatan perekonomian justru menempati level terendah dibanding negara maju seperti Amerika, Inggris , dan Prancis, atau negara berkembang seperti Jepang, Hongkong, dan Cina, menurut Jawad Ali hal ini disebabkan oleh kondisi geografis Arab yang tidak mendukung untuk bercocok tanam, selain iklim panas membuat bangsa Arab malas dalam beraktifitas, ini adalah taqdir tuhan yang harus diterima bangsa Arab, jadi sampai kapanpun tetap terbelakang, demikian komentar sejarawan Arab terhadap problematika ekonomi bangsanya.
 

Hobi perang bangsa Arab merupakan problem yang sangat besar menghambat pertumbuhan ekonomi yang sudah lambat, alokasi dana militer lebih banyak ketimbang dana peningkatan sumber daya manusia dan pembangunan infrastuktur. Para wanita yang jumlahnya lebih besar dari lelaki kurang diberdayakan dalam lapangan ekonomi.

Usaha Rekontruksi ekonomi Arab Islam, Catatan Kritis
 

Berbicara tentang usaha bangsa Arab dalam memperbaiki perekonomiannya bisa dikatakan bahwa mereka baru memulainya ketika mereka sadar akan keterbelakannya, yaitu ketika dinasti Ustmaniah di Turki terkesima akan kemajuan eropa dalam teknologi dan tekhnik perang hingga mereka beberapa kali menimpa kekalahan perang dari eropa, sedangkan di Mesir bangsa Arab sadar akan keterbelakangannya ketika napoleon bonaparte menginjakkan kakinya di Iskandariah beserta beberapa ilmuan dan beberapa peralatan perang yang canggih dan beberapa set mesin percetakan bahasa prancis dan bahasa latin.
 

Sejak tahun delapan puluhan muncul terma baru dalam kajian keilmuan Islam yaitu ilmu ekonomi Islam, berkeyakinan bahwa Islam adalah agama yang mencakup seluruh aspek kehidupan, tidak ketinggalan ilmu ekonomi, kajian ekonomi Islam menjadi kajian yang marak di berbagai universitas baik di Timur Tengah sendiri maupun di Barat, kemudian para sarjana Arab muslim disibukkan dengan penggalian teori-teori ekonomi yang terdapat dalam buku-buku turats klasik, ditemukanlah bahwa Ghozali adalah ekonom yang pertama kali mengatakan bahwa kebutuhan manusia itu ada tiga, kebutuhan primer, skunder, dan tersier, kemudian Ibnu Taimiayah, Ibnu Rusd, dan banyak lagi tokoh-tokoh Arab Islam klasik yang di cap sebagai para ekonom yang teori-teori ekonominya diadopsi oleh Barat.
 

Fenomena ini bisa dilihat dalam berbagai buku-buku ekonomi Islam, bagi orang Arab haram rasanya kalau sejarahnya berawal dari barat, Barat dan Arab adalah berbeda, ini adalah bukti permusuhan bangsa Arab yang sudah mengakar dalam ranah-ranah pemikiran Arab. Demikian disiplin ekonomi Islam ini lahir sebagai bentuk perlawanan bangsa Arab terhadap hegemonik pasar globalisasi Barat. Padahal sekarang Arab sudah mati, yang masih hidup adalah Barat, jadi sebenarnya tidak ada perlawanan antara Barat dan Timur, demikian Adonis mengungkapkan kekecewaan kepada bangsa Arab.
 

Muhammad Naguib Mahmud tidak setuju dengan istilah ilmu ekonomi Islam sama halnya terhadap ilmu psikologi Islam, dan ilmu sosiologi Islam, karena ilmu dan agama haruslah dipisah, pencampuradukan ilmu-ilmu humaniora yang sebenarnya bukan produck Islam hanya akan melemahkan Islam itu sendiri, karena yang ada hanyalah Islamisasi beberapa teori dan epistema yang sebenarnya baratlah yang menelorkannya, para sarjana Arab Islam diproyeksikan untuk menemukan teori-teori ekonomi yang terdapat daam turats-turats klasik, bukannya memberikan solusi terhadap probomatika yang real dihadapi bangsa Arab, konfrensi ekonomi hanya membahas kasus-kasus yang sebenarnya sudah dibahas oleh ulama-ulama terdahaulu, berusaha menggantikan terma-terma ekonomi positif barat dengan terma-terma Arab. Hampir tigapuluh tahun ilmu ekonomi Islam ini dipertahankan terutama oleh ulama-ulama Saudi Arabia, tetapi hanya sektor perbankanlah yang muncul, terlihat dengan berdirinya bank-bank syariah diberbagai negara Islam, tetapi dalam tataran praktis mereka tetap menggunakan sistem ekonomi positif, dalam komputerisasi, dan manajemen perbankan, masih mengekor ke Barat.
 

Barat maju dengan Materialismenya walaupun dalam sistem nilai akhlak mengalami penurunan yang memang itu adalah sebuah konsekuensi, sementara tujuan ekonomi Islam hanyalah sebagai wasilah saja untuk beribadah kepada Allah, semua teori dan hukum ekonomi diperuntukkan untuk Tuhan, bukan untuk manusia, bagaimana caranya supaya praktik ekonomi sesuai dengan hukum-hukum Allah, bukan untuk manusia itu sendiri, padahal ekonomi adalah sebuah disiplin ilmu yang orientasinya untuk memenuhi kebutuhan materi manusia, retrogesifitas ekonomi Islam yang digembor gemborkan orang Arab sangatlah pesimis untuk mendorong bangsanya maju dalam bidang ekonomi, teori-teori ekonomi berlaku untuk mengatur perekonomian yang sudah tersedia supaya berupa mekanismenya sesuai dengan syariat ilahi, ilmu ekonomi Islam tidak diproyeksikan untuk kemajuan bangsa Arab dalam produksi, atau peningkatan tarap hidup manusia, supaya bisa bersaing dalam pasar globalisasi yang dihegemonik barat, tetapi hanya menggembor-gemborkan keadilan sosial, pengharaman praktek riba, dan sebagainya.
 

Rekontruksi ekonomi Arab Islam tidak bisa terealisasi tanpa rekontruksi sistem nilai yang sudah mentradisi atau ideologi yang menjadi jembatan menuju perkembangan ekonomi, economic development bisa terealisasi dengan peningkatan produksi, sedangakan peningkatan income distribution membutuhkan stimulus untuk menggenjot produktifitas. Sebelum menawarkan solusi perbaikan ekonomi, kita harus menemukan titik permasalahan yang berefek besar terhadap keterbelakangan ekonomi Arab Islam, ada beberapa faktor yang dipandang berpengaruh dalam hal ini yaitu Falsafah, agama, dan sejarah. Tiga mainstream ini berjalan beriringan membentuk sistem nilai dalam ranah-ranah kehidupan bangsa Arab Islam.
 

Karl Marxs mengatakan bahwa agama adalah candu masyarakat, itu ada benarnya kalau ajarannya tidak progressif, unsur teologi menjadi faktor dominan yang menghegemonik bangsa Arab, kepercayaan bahwa manusia hidup di dunia hanyalah sementara, hidup di dunia hanyalah sebuah permainan belaka, sementara kehidupan yang real adalah di akhirat nanti, falsafah hidup sekaligus teologi Islam ini berpengaruh besar dalam produktifitas ekonomi pemeluknya, karena dalam perekonomiannya bangsa Arab muslim membatasi dirinya dalam pengumpulan harta kekayaan, lain halnya denga bangsa barat hidup di dunia itu abadi mendorong mereka untuk mencurahkan segala kemampuannya dalam pencarian ekonomi.
 

konsep jabariah bangsa Arab muslim yang mengatakan bahwa manusia bagaikan kapas yang terbang di udara, tidak bisa melakukan hal apapun, perbuatan manusia hanya di buat oleh Allah, sebelum manusia lahir Allah sudah menentukan rizkinya, matinya, dan surga nerakanya, walaupun sempat terselamatkan oleh muktaziah tetapi akhirnya dimenangkan oleh kasabnya Asy’ariah yang ujung-ujungnya tetap saja jabariah, konsep jabariah inilah yang membuat bangsa Arab tidak terlalu ambil pusing dalam peningkatan perekonomiannya, karena itu sudah taqdir tuhan. Sistem nilai yang sudah mentradisi ini harus menjadi sasaran utama sebelum perbaikan bidang produksi.
 

Demikianlah agama mempengaruhi bangsa Arab dalam perekonomiannya, selain paraktik-praktik tasawauf yang menjauhkan diri dari pergaulan sosial sangat menghambat roda perekonomian, maka wajar kalu Attatruk memberantas praktik tasawuf ini dengan ekstrim di Turki, demikian juga Mohammad Abduh walaupun dengan bentuknya yang lebih halus.
 

Dalam falsafah progressif teori kausalitas yang hilang dalam peradaban Arab semenjak Al-Ghozali, melemahkan pertumbuhan rasionalitas, yang ujung-ujungnya melemahkan ekonomi, semua fenomena yang muncul dalam kehidupan bangsa Arab dipahami sebagai ciptaan tuhan secara absolut, sebuah pemahaman yang melemahkan nalar dalam meraba biangnya dan menumpulkan solusi, sering sekali wacana ekonomi Arab baik masa klasik ataupun kontemporer dipahami sebagai wacana agama. Konsep ‘adah yang digemborkan Ghozali melemahkan rasionalitas yang akhirnya melemahkan progresifitas dalam berbagai bidang khususnya bidang ekonomi.
 

Teori sirkulasi peradaban Ibnu kholdun yang mengatakan bahwa manusia dalam roda peradabannya mengalami tiga pase, pase pertama manusia hidup dalam pase nomaden hidup berpindah-pindah mencari bahan makanan, dan berpindah lagi kalau cadangan makanannya sudah habis, generasi ini dicirikan dengan fanatismenya, dan dengan produksinya yang sederhana, sedangkan fase yang kedua adalah fase kota, tipe masyarakat ini mereka sudah mulai bercocok tanam, mendirikann negara berikut tentaranya untuk mempertahankan daerahnya dari serangan musuh, dan fase yang terakhir adalah fase kemunduran dengan berbagai sebab diantaranya karena fanatismenya itu sendiri. Menurut ilbnu kholdun setiap peradaan manapun akan mengalami tiga fase ini, mengalami masa keemasan dan kemunduran. Pandangan sejarah yang ditelorkan oleh anak bangsa Arab ini me-ninaobobo-kan bangsa Arab yang berada dalam keterbelakangan ekonomi, karena mereka sudah mengalami masa keemasan dan sekarang adalah masa kemunduranm, keemasan digantikan bangsa Barat yang pasti suatu saaat akan kembali kepangkuan bangsa Arab. Para ulama Arab Islam sering menenangkan masyarakat Arab yang berada dalam kemiskinan dengan mengatakan bahwa hidup itu seperti roda yang berputar, terkadang kita berada di posisi yang bawah, dan terkadang di posisi atas, kalau kita berada di posisi atas maka bersedihlah karena kita sebentar lagi berputar ke posisi bawah, dan kalau kita berada di posisi bawah maka berbahagialah karena kita akan berputar ke posisi atas.

Rekontruksi ekonomi Arab Islam
 

Kita harus ingat bahwa kemajuan barat berawal dari kebangkitan ekonomi sosial dan pemikiran, bersandar kepada kapitalisme, dan produksi adalah asasnya, liberalisme adalah pedang pemikirannya, dan demokrasi adalah sistem politiknya, sedangkan Arab hanya mengikuti perkembangan di Barat.
 

Penulis sangat pesimis dengan ilmu ekonomi Islam dalam eksistensinya yang perfect, apalagi bisa menggeser ilmu ekonomi positif Barat, karena ilmu ekonomi Islam hanya terlihat real dalam sektor perbankan itupun terkesan Arabisasi terma ekonomi positif, sedangkan sektor lain hanya sebatas normatif, sarjananya sibuk dengan penggalian sejarah ekonomi Arab. Keberhasilan ilmu ekonomi barat adalah keberhasilan penduduk bumi ini seluruhnya, bangsa Arab dengan fanatismenya menjauhkan segala sesuatu dari barat adalah suatu hal yang sia-sia hanya akan menjauhkannya lebih jauh lagi dari ketertinggalan mereka, melibatkan agama dalam perekonomian hanya akan menjadi bumerang menghambat petumbuhannya, sekularisme ekonomi dari negara adalah alternatif bagi negara-negara yang membutuhkan peningkatan produksi dalam hal ini negara-negara Arab Islam kecuali Saudi Arabia, Saudi Arabia mungkin tidak terlalu ambil pusing dalam peningkatan sektor produksi karena mereka terlalu enjoi dengan sektor pariwisata dan minyak bumi, mereka dicukupkan dengan mengimpor seluruh komoditi yang dibutuhkan rakyatnya tampa memproduksi sendiri, dan dari negara malas inilah ilmu ekonomi Islam lahir dan diadopsi oleh negara-negara muslim lainnya, sesuatu kesalahan vital mengingat paradigma ekonomi adalah berbeda dari negara yang satu ke negara yang lainnya.
 

Di sisi lain penulis setuju kalau ilmu ekonomi Islam hanya sebagai salah satu aliran sebagaimana kapitalisme atau sosialisme, karena dalam kenyataannya sektor perbankan, dengan maraknya bank syariah telah menyedot beribu-ribu lapangan kerja, tetapi bukan sebagai disiplin ilmu yang utuh karena sektor ekonomi bukan hanya perbankan saja tetapi di sana banyak sektor yang lainnya.
 

Sudah saatnya negara-negara Arab mulai memberdayakan wanita dalam sektor ekonomi, Arab tergolong dalam jumlah pengangguran tertinggi dan salah satu sebabnya adalah 80% wanita hanya diperlakukan sebagai ibu rumah tangga, feminisme harus di gencarkan khususnya dalam lapangan-lapangan ekonomi, sedangkan problem laki-laki lebih banyak karena sumberdaya manusianya yang tergolong rendah, padahal sumber daya manusia adalah bagian terpenting dalam kegiatan produksi. Kajian ekonomi di universitas-universitas harus dikaji dalam posisinya sebagai ekonomi murni, tidak ada embel-embel Islam.

Penutup
 

Bangsa Arab jangan terlalu gengsi untuk belajar dari barat, atau setidaknya belajar dari negara-negara asia timur seperti China, Jepang, dan Hongkong, permusuhan alangkah baiknya menjadi penggenjot pertumbuhan ekonomi sebagaimana Taiwan terhadap China, dan sebagaimana Korea Selatan terhadap Korea Utara, ilmu ekonomi Islam adalah bentuk pelampiasan permusuhan bangsa Arab yang pasif, mengangkat ekonomi yang membumi mejadi melangit atau from the landto the god meminjam istilah Hasan Hanafi, dari ekonomi progressif menjadi ekonomi retrogressif, atau dari antroposentris ke theosentris, padahal tuhan tak perlu dibela, tuhan mengutus nabinya hanya demi kemaslahatan manusia bukan hanya di akhirat tetapi di dunia juga.

Di Barat ekonomi berkembang terutama setelah revolusi industri besar-besaran berupa teknologisasi produksi, digenjot dengan positivismenya, mereka bisa bangkit menguasai pasar dunia, sedangkan bangsa Arab sangat lemah dalam produksi plus lemah rasionalisme membuat memblenya produktifitas, solusi problematika ekonomi tidak bisa dijeneralkan, satu tawaran solusi bisa efisien untuk satu negara muslim, dan tidak cocok untuk negara muslim lainnya, negara Arab yang tandus tida bisa disamakan dengan negara asia tenggara yang subur, tetapi agama dengan hegemonik theologi salah kaprahnya mempunyai tipikal yang hampir sama, dari negara muslim yang satu dengan negara muslim lainnya.

About This Blog

  © Blogger template Writer's Blog by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP